WELCOME

Banyak wacana yamg bisa didapat. Tinggal pilih kategori sesuai kepo. Enjoy it!

Jumat, 15 November 2019

Blame Others: Mengulas Hobi Suka Menyalahkan Orang Lain sebagai Penyakit Mental

Guys, adakah dari kita yang dalam momen tertentu misalkan mendapat masalah atau sesuatu hal berkonotasi negatif lainnya, kita cenderung untuk menyalahkan orang lain? Dalam artian kita terlalu cepat menjustifikasi bahwa orang yang lain yang salah bukan kita sehubungan dengan suatu case tertentu?

equalitywalk.blogspot.com

Mari kita ambil contoh sederhana ya, dalam keseharian yang simpel seperti saat kita sedang berjalan di mall atau sebuah trotoar public, tak berasa kita sedang melakukan phubbing, alias konsentrasi ke layar handphone yang kita genggam, lalu secara tiba-tiba seseorang menabrak kita, dalam waktu singkat dan tidak terduga menyebabkan handphone kita jatuh, lalu kita langsung menjustifikasi itu semua salah dia?

Padahal dalam momen sebelum tabrakan, ada banyak kemungkinan yang terjadi. Bisa jadi dia sedang buru-buru sambil membawa barang banyak, atau mungkin kita yang sedang terlena phubbing tidak melihat jalan, arah jalan kita tidak lurus, tapi tidak berasa, agak melenceng sehingga menabrak dia (konsep kita yang menabrak dia bukan dia yang menabrak kita), atau mungkin karena area agak ramai, dia terdorong secara tidak sengaja oleh orang tak dikenal di sampingnya, menyebabkan efek berantai kita berkontak fisik sama dia secara tidak sengaja.

youtube.com


Pelebaran sayap kasus sederhana seperti ini bisa diluaskan nantinya, seperti ranah di kantor, kita sebagai bos menyalahkan sepenuhnya anak buah karena tidak bisa bekerja dengan baik mengingat tingkat penjualan produk menurun, padahal bisa saja itu salah kita karena dalam aplikasi manajemen planning, organizing, actuating, controlling perusahaan kurang becus.

Perlakuan blaming someone else ini bisa terlempar ke berbagai sasaran loh, bisa orang yang kita sayangi, teman, keluarga, dan level yang paling mudah untuk melesatkan anak panah "Blame others" adalah orang asing yang kita tidak mengenalnya.

Katie Uniacke, seorang author, penulis, dan traveller, pemerhati dunia psikologi, sempat mengulas hal ini juga dalam salah satu hasil authornya, dengan menekankan:

No matter how much people love us, there is only a certain number of times most people will tolerate taking the blame for something that genuinely wasn’t their fault.

Tidak bergantung sejauh mana seseorang mencintai kita, tapi hanya ada sedikit orang yang mau menoleransi justifikasi "menyalahkan orang lain", yang nyata-nyata mereka menyadari bahwa itu semua bukan kesalahan mereka.

marthafry.com

Sebenarnya perilaku yang akhirnya menjadi kebiasaan untuk blame someone else ini sudah merupakan satu masalah kecil, meskipun saya belum berani memasukkannya ke cakupan mental illness, tapi akan menjadi masalah lebih besar lagi ketika kita menjustifikasi salah tersebut ke orang lain, dan orang lain itu tidak menerima justifikasi tersebut. Ya memang bukan salah mereka tapi mereka benar-benar tidak terima dengan apa yang kita katakan. Bukannya ini menjadi masalah yang baru?

Life is all about making mistakes. It’s only through getting things wrong that we learn how to do them right.

Berdasarkan dari perkataan author terkait, permasalahan ketiga timbul, yaitu kita menjadi menyiakan kesempatan untuk mempelajari sesuatu, memperbaiki sesuatu kesalahan yang memang benar-benar dari kita, sehingga kedepannya kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

perseka.com


Jika hanya blame him, blame them, blame her, tanpa menyadari bahwa kesalahan itu tercipta dari perilaku kita sendiri, takutnya kita menjadi pribadi yang stuck, tidak bisa belajar liku liku kehidupan dengan baik kemudian mempelajari kesalahan dan memperbaiki nya agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi, juga secara kode etik sosial kita melakukan kesalahan dalam bersosialisasi dengan orang lain.

Ada dampak juga lo, nanti teman kita bisa bisa rontok satu satu, kehilangan respect baik dari teman, sahabat, kolega, bahkan dari keluarga sendiri, belum lagi jika kita sedang terjun sebagai entrepreneur, atau sedang memulai bisnis, sifat seperti ini benar-benar bakal tidak menguntungkan pribadi terkait.

courageouschristianfather.com


Tapi gimana-gimana sifat seperti merugikan kan? Actually, dominan akibat akan merugikan diri sendiri. I swear it. Saya bisa bilang begitu, karena saya termasuk salah satu praktisi sifat seperti ini dulunya. Meski untuk umur yang mungkin dibilang matang seperti sekarang, dalam beberapa case, cara berpikir seperti ini kadang muncul di dalam diri saya, tapi tinggal saya nya aja yang menyingkirkannya jauh-jauh, stereotip negatif kadang harus kita pendam dengan 1000 possibility dan sugesti positif.

Why we did it?
Kenapa kita atau mungkin sebagian orang melakukan "blame someone else" ini?

Masih dengan author penyuka makanan vegetarian yang sama, dia menyebut beberapa sebab.

Explain
Menjelaskan sesuatu yang telah terjadi, dan pada dasarnya manusia suka yang instan, simple dan tidak ribet, secara spontanitas subjek ini memasukkan beberapa clue dan poin-poin seadanya untuk dihubung-hubungkan, seperti puzzle kemudian dirangkai agar menjadi gambar, dan diklaim sebagai justifikasi, rangkaian kejadian.


blog.professorbeekums.com

Semua ini berangkat dari naluri kita sebagai manusia, untuk menjelaskan sesuatu, atau kepo terhadap banyak hal. Seperti contoh yang sudah saya sampaikan di atas tadi, ketika kita enak-enak jalan kemudian orang menabrak kita. Secara naluri pasti main kan di pikiran kita, berkutat di pertanyaan "kenapa hp saya bisa jatuh", akhirnya terjadilah justifikasi tersebut, dengan rangkaian kejadian yang masih dalam alur prediksi, bukan secara fact.

Attack
Tentunya justifikasi ini oleh beberapa orang digunakan untuk menyerang orang lain, dengan sebab-sebab tertentu, serta tujuan tujuan tertentu. Hati-hati fitnah orang lain ada di cakupan sub bab ini. Seperti mungkin supervisi yang tidak menyukai salah satu bawahan dalam lingkungan kerja, kemudian ke manajernya dia menyampaikan sesuatu hal kejadian yang memang dia rangkai sendiri dalam rangka menyerang bawah tersebut. Baik untuk pembunuhan karakter maupun yang lebih jahat.


123rf.com


Defense
Spontanitas defensif saja terhadap suatu kejadian. Mungkin di sini sebagian besar wanita yang melakukan ya, tapi tidak menutup kemungkinan laki-laki melakukannya juga. Ya itu menunjukkan sifat rapuh, fragille, dengan menunjukkannya, mungkin si subject berharap untuk mendapat respect atau keuntungan lain, tapi dalam satu segi ini hanya sebagai defense alami terhadap suatu kejadian yang mungkin bila dia tidak melakukannya, maka ada kemungkinan dia yang terkena sanksi moril.

X: Kamu tadi nabrak mobil saya ya?

Y: Enggak kok siapa juga yang nabrak..
(Takut disuruh ganti rugi cat mobil yang kebaret)


Easier
Lebih mudah lah. Daripada ribet-ribet mikirin segala possibility yang memungkinkan, enak aja ngomong "ini semua salah kamu".

Tapi masih deket sih sub bab ini (easier) dengan sub bab sebelumnya (defense). Cuman di sini ada satu sisi yang bisa di identikkan "easy to tell a lie" daripada menerima konsekuensi.


Independent.co.uk


Excuse
Seringkali naluri di dalam diri yang membutuhkan sugesti bahwa kita tidak sedang melakukan kesalahan. Harapan dari nya, ketika kita melakukan pembelaan atas apa yang kita lakukan, rasa nyaman akan muncul tapi sayangnya itu rasa nyaman yang semu.

Susan Krauss Whitbourne Ph.D., Professor Emerita dunia Psikologi dan ilmu otak di University of Massachusetts, menyebut perilaku ini dengan blame game. Suatu perilaku secara psikis yang secara naluri bisa dialami banyak orang, tinggal kembali ke tipikal orang masing-masing.

Lalu, solusi yang profesor ini katakan juga cukup simple, hampir sama seperti bagaimana cara pandang saya di atas tadi.

Learning to tell when you need to own up to your role in a bad situation will help you grow from your experiences, and ultimately help you achieve more fulfilling relationships.

Goal nya sih relationship. Kamu tidak akan meruntuhkan beberapa benang relationship yang sudah kamu kenal dengan berbagai orang. Sayang kalau hanya karena kebiasaan buruk ini, teman atau keluarga tidak respect lagi ke kita.


inc.com

Ada pula di kode etik sosial, sangat disayangkan jika kesempatan untuk bisa berkenalan dengan orang asing, siapa tahu ada manfaat kedepannya dengan perilaku baik terhadap orang asing tersebut, seperti mungkin ke depannya bisa jadi sahabat, jodoh, atau kolega bisnis, tapi kemungkinan-kemungkinan positif tersebut runtuhkan hanya karena habit jelek kita "playing blame games".

Satu kata sih. Semua merupakan pengalaman untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya.

Semoga bermanfaat, dan teman-teman bisa mengambil ilmunya, karena gimana gimana kita adalah manusia yang terbatas, tempatnya kesalahan. Baik secara kacamata science sosiologi dan konsep religi, hal yang benar ketika kita melakukan suatu kesalahan, hanya ada instropeksi, meminta maaf (bila ada salah dengan pihak kedua atau ketiga), dan memperbaiki diri sendiri, semua dalam rangka agar kita menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya dan meminimalisir kesalahan yang telah terjadi di masa lampau agar tidak terjadi di masa datang.

Selamat beraktifitas dan salam kenal, jika ada kesalahan yang tidak disengaja mohon dimaafkan.

See you!



FURQON643

0 komentar:

Posting Komentar