WELCOME

Banyak wacana yamg bisa didapat. Tinggal pilih kategori sesuai kepo. Enjoy it!

Jumat, 18 Oktober 2019

Dugem, Night Club, Clubbing, Clubbers? Apa yang Dicari?

Dentuman musik menyeruak ke segala penjuru ruangan. Mengalahkan suara hiruk pikuk orang-orang di dalam ruangan, cuman sesekali terdengar tertawa membahana dari salah satu sisi ruangan. Itu pun terdengar lirih banget tertutup suara musik yang menggelegar. Di sini cenderung gelap, hanya ada pencahayaan di satu atau dua sisi ruangan. Kecuali pencahayaan di stage, sambil sesekali permainan cahaya ikut seolah-olah memeriahkan suasana berisik bin bising.

sumber picture: Disco tech

Indera pembau seolah familier dengan aroma alkohol dan asap rokok. Karena memang tempat seperti ini pangsa pasar menjanjikan untuk minuman beralkohol. Asap rokok jangan ditanya. Apalagi jika ruangan fungsi blower nya tidak maksimal, atau jumlah perangkat terkait yang terinstalasi terkalahkan dengan para pengguna rokok, yang tanpa henti mengembuskan asapnya.

ini cuman satu, bayangkan kalau puluhan atau ratusan, berkumpul dalam satu ruangan tertutup (sumber picture: night club and bar)


Laki-laki dan wanita berbaur bebas tanpa pembatas. Ego plus pertimbangan prestige seakan sedikit "memaksa" para pengunjung untuk tampil rapi bagi dominan kaum adam dan tampil seksi untuk para wanitanya. Malah beberapa kelewat seksi.

Interaksi antar manusia di dalam ruangan ini seakan tanpa batas, bisa melakukan apapun, yang penting tidak over, menggeser kode etik tertentu, yang mana tidak bisa dilakukan di area public. Disini seakan "dinding pembatas" etika perilaku dalam dunia sosial ketimuran runtuh.

Drugs, dan sebangsanya seperti mendapatkan angin segar di tempat ini. Sembunyi-sembunyi maupun semi terang-terangan di beberapa tempat lain yang serupa, pelan namun pasti peredarannya bak melenggang di udara, seperti debu tertiup angin. 

sumber picture: foundation for economic education

Tiap-tiap pengunjung menghabiskan waktu di sini dengan beragam motivasi. Ada yang memang menetapkan tempat dan momen ini untuk ajak sosialita sesama teman, sekedar mencoba masih pertama/kedua kalinya datang mengobati rasa penasaran (newbie), usaha menambah klien sehubungan dengan produk yang dia jual (businessman for professional networking), hanya diajak teman, keinginan berinteraksi dengan lawan jenis, cuci mata doang (cozy place, interesting visual lightning), momentum fun (misalkan momentum ulang tahun), iseng mampir untuk menunggu waktu pagi datang, hobi minum alkohol/food beverages lain (yang memang hanya ada di tempat ini), ingin menikmati performance musisi/disc jockey tertentu, exercise (olahraga malam), atau memang tempat ini sebagai ladangnya mencari rizki. Bisa juga bermotivasi kombinasi dua atau lebih beberapa sebab di atas.

---

Dalam Cambridge Dictionary, di sebut kan beberapa arti dari istilah habit: "something that you do often and regularly, sometimes without knowing that you are doing it", habit kurang lebih adalah sesuatu yang sering dilakukan dan ada konsep rutinitas, beberapa di antaranya tanpa disadari kalau kita melakukannya.

sumber pict: loyal determined


Disebutkan juga dalam kamus yang sama, "a particular act or way of acting that you tend to do regularly", yaitu semua perilaku atau aksi yang cenderung dilakukan rutin.

Jadi kurang lebih, ketika kita memang menikmati kunjungan ke tempat yang sudah saya bahas di atas, ada kecenderungan keinginan untuk kembali lagi menikmati tempat tersebut di lain waktu, atau memang beberapa kali/seringkali dilakukan, maybe, yes, kunjungan dunia malam habit Anda.

Ada beberapa poin analisa singkat.

° Darkness
Sebenarnya tempat clubbing berjualan kebebasan interaksi, baik sesama maupun lawan jenis. Kenapa tempatnya dark, cenderung gelap?

Bahwasanya secara psikologis naluriah manusia, di tempat yang terang benderang, kemudian dia bisa secara visual melihat banyak orang, crowded, dominan orang-orang yang stranger, alias tidak dikenal, maka naluri defend - aware nya bakal memacu perilaku spontanitas subjek. Baik itu canggung, atau kurang bisa "lepas" sebagai bentuk aktualisasi diri. Untuk mengurangi hal tersebut, maka setting gelap di aplikasikan ke banyak club. 

Sumber picture: tokkoro


Kalaupun ada kecanggungan, provider pemilik klub sesuai pangsa pasar yang ada di klub, menyediakan berbagai macam minuman yang mengandung alkohol. Biasa, biar mabuk sekalian, "became on", dan berperilaku di luar etik sebagai effect "drunk"/"trance". Tanpa kecanggungan, bersosialisasi lepas, baik terhadap kawan, orang yang sudah dikenal, maupun stranger atau orang asing yang baru ditemui pertama kali, menyingkirkan segala pikiran aware/defend yang secara normal muncul ketika orang masih sadar.

Secara kepentingan marketing club, suasana gelap bisa berarti melindungi privasi masing-masing subjek pengunjung tempat terkait. Kondisi ini seperti "saya bisa melakukan apapun karena sebelah saya tidak bisa melihat wajah saya dengan baik, tidak bisa mengenali saya". Atmosfer demikian membuat beberapa pengunjung merasa nyaman.

bener-bener gelap dan nggak kelihatan apa-apa, sumber picture: wolf bar

Ada pula sebagian subyek, yang saya tidak perlu menjabarkan banyak hal, cuma dari peribahasa yang eksis di barat sana, mungkin cukup menjelaskan akan apa yang saya maksud sehubungan dengan gelapnya ruangan di dalam club. Peribahasa eksis itu adalah "Give a man a mask and they will show you who they truly are".

° Alcohol effect
Emotional attract, dalam arti selain sudah saya jelaskan sedikit di poin pertama, efek dari minuman beralkohol mampu menjadikan orang berinteraksi lepas, untuk beberapa case, orang akan menikmati momentum ini. Selain merasa lepas semua beban pikiran, seringkali subyek bisa lepas mengatakan hal-hal yang mungkin tabu, atau lebih honest. Sosialita lepas ini menarik bagi sebagian orang.

sumber picture: alivecor

° Status sosial
Masih terjebak dengan perasaan adanya benang merah antara status sosial dan kebiasaan clubbing? Berarti para pebisnis club alias dunia malam masih berhasil menanamkan stereotip tersebut ke masyarakat.

Alur simple merasa sebagai "sebagian sedikit orang" yang bisa melakukan clubbing, di mana identik dengan "orang kaya", "beruang". Ya memang melekatkan mindset ini merupakan PR besar para pebisnis dunia malam. Termasuk modernitas issue. 

sumber picture: Veckans

° Rockstar Effect
Secara simple, ini seperti saat anda ikut melantunkan lirik nyanyian yang didentumkan musisi atau disc jockey. Kemampuan melantunkan seperti yang sedang disuarakan di amplifier seakan menanamkan efek emosional di dalam hati. Berasa Anda bagian dari seorang Rockstar.

° Music & dance
Beberapa rangkaian poin di atas membentuk suatu ikatan atmosfer yang excellent saat dipadu dengan dentuman musik. Perlu kita tahu, salah satu DJ terkenal dari Toronto, Yale Fox, dalam penelitian simplenya mengiyakan kalau memang musik berpengaruh ke psikologi subjek pengunjung.

Genre musik tertentu, dominan genre yang big hits, mampu membuat orang bersemangat, pada subjek tertentu, mereka cenderung akan melakukan penambahan pembelian produk di bar, utamanya minuman beralkohol. Untuk musik yang lebih slow, disc jockey terkenal ini menyimpulkan, reduce suasana hingar-bingar akan memberi waktu bagi beberapa subjek untuk berinteraksi, sebagian pula terdorong melakukan pembelian produk di bar. Statement berikutnya yang dia simpulkan berdasarkan penelitian simple, musik genre rock pun dominan meningkatkan sales produk jenis beer.

sumber picture: the verge

° Sexual signaling
Berangkat dari apa yang diulas oleh Gad Saad,  peneliti pada John Morrison school of business Concordia University Montreal Quebec, Canada, tempat semacam ini mempunyai daya tarik, attract tersendiri terhadap para lelaki kepada lawan jenis. Karena perpaduan simpel yang beliau sebutkan, sexy clothes plus dirty dancing mempunyai nilai poin tersendiri sebagai penarik konsumen ke tempat terkait utamanya para kaum Adam. 

sumber picture: color lib

Sedangkan pada penelitian yang sudah dilakukan ada beberapa sampel (penelitian yang ini diaplikasikan ke subjek penelitian wanita sejumlah 351 orang yang datang pada salah satu klub di Austria) oleh peneliti dari Institute for Urban Ethology, University of Vienna, dengan hasil makalah berjudul Disco Clothing Female Sexual Motivation and Relationship Status: is She Dressed to Impress, didapat beberapa poin kesimpulan, seperti garis sejajar antara motivasi datang ke klub untuk mencari pasangan berpengaruh pada display fisik alias cara berpakaian. Pada poin lain, tingkat hormon, di sini testosteron, levelnya berbanding positif dengan display fisik juga. Hormon ini tingkat nya agak tinggi daripada yang biasanya, terkait dengan tightness clothing/baju ketat.

sumber picture: the fader

Tentu hal ini masih berkait dengan prestige ya memang masih bertengger di pikiran tiap subyek. Meskipun kita negara timur (di mana kental banget ama culture ketimuran) cuma karena modernisasi zaman sekarang seperti itu, penelitian diatas yang diadakan di Austria mungkin cukup menggambarkan kondisi club di seantero dunia.

---------------------------

Kalau kita kembalikan ke topik utama, dari beberapa yang saya ulas di atas (belum semuanya tapi sekiranya beberapa poin tersebut sudah cukup mewakili) timbul pertanyaan utama, what do you expect? Apa yang anda harapkan dari habit clubbing?

Apa benar kita mendapat keuntungan dari "cap" berstatus sosial? 
Pertama sekali, ketika saya dulu suka mendatangi beberapa dunia malam, memang saya menemukan beberapa orang yang mempunyai jabatan, atau beberapa kedudukan/level di masyarakat yang menurut kacamata saya, sedikit "unggul" kalau di parameter finansial. Namun apakah serta merta, ketika kita menjadikan kebiasaan dunia malam sebagai habit, langsung orang akan mencap kita berstatus sosial "agak keren"?

sumber picture: hedonism

Kalau pengalaman saya, secara naluri orang sekitar baik kawan, atau teman sejawat, ketika kita mendatangi pub, atau menjadikannya sebagai habit, sebagian mungkin berpikir bahwa memang kita adalah orang yang mempunyai kemampuan finansial cukup, lebih baik daripada kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya, tapi jangan lupa, ada stereotip yang mengikuti di belakangnya, cenderung negatif, seperti stereotip foya-foya, membuang uang ke hal-hal yang tidak perlu, dimana jika di akumulasikan perbulan dana tersebut akan mengumpul jumlah yang lumayan banyak, dan ada better choice untuk alokasi dana sebesar itu seperti kegiatan sosial, di mana dalam segi manfaat kegiatan sosial ini akan bermanfaat banget bagi orang lain, yang tidak mampu atau berkebutuhan khusus. 

Belum lagi budaya ketimuran yang sempat saya singgung sedikit di atas. Dalam artian, sebagai orang ketimuran, dengan culture ketimuran pula, masih ada mindset negatif yang memeluk orang orang dunia malam. Seperti tukang mabuk, pencari kesenangan duniawi, pencari wanita (bagi kebanyakan orang masih mempunyai stereotip seperti dunia malam tempatnya para wanita berpakaian minim/tidak jelas).

Bagaimana dengan alkohol?
Dominan pengunjung dunia malam pasti mau gak mau sering tidak sering mengkonsumsi alkohol. Perlu saya ceritakan sedikit pengalaman pribadi, ada teman, yang memang mempunyai kebiasaan minum beralkohol dari masa dia sekolah.

Karena kebiasaan buruk itu, sekarang dia mempunyai kelainan di hatinya. Masa muda foya-foya, sekarang tinggal memanen imbasnya, seperti tidak boleh makan pedas, dilarang minum minuman bersoda, dan banyak lagi pantangan. Bangga gugur, nyesel iya. Ini kalau saya hubungkan dalam segi medis.

sumber picture: push doctor

Kalau dalam kacamata religi, terutama sebagai penganut agama Islam, sudah jelas-jelas bawah memang alkohol adalah haram dikonsumsi, sederet kerugian berupa dosa, dan tidak diterimanya shalat selama 40 hari.

Bagaimana dengan aktivitas keseharian?
Seringnya menuangkan sisa energi saat badan harusnya beristirahat pasti ada imbas juga ke medis. Coba bayangkan saja, misalnya mahasiswa, dari pagi hingga sore berkuliah, belum juga banyak beristirahat tapi malamnya sudah mengunjungi dunia malam dari malam menjelang hingga pagi datang. Alhasil seperti saya dulu, adanya siang hingga sore tidur karena membayar jatah tidur yang kepakai buat aktivitas semalaman.

kurang tidur maka lelah, (sumber picture: global news)

Kalaupun dalam kondisi lain, mahasiswa atau karyawan yang harus berkuliah/bekerja/beraktivitas keseharian keesokan harinya, pasti aktivitasnya terganggu, karena ketika orang beraktivitas, lalu harusnya beristirahat kemudian keesokan beraktivitas lagi dengan tenaga yang baru, poin ini tidak dia dapatkan. Adanya aktivitas keesokan hari ngantuk, dituntut fokus malah tidak fokus, mengerjakan sesuatu dalam kondisi normal harusnya bisa mewujudkan hasil yang maksimal, malah ini sebaliknya.

sumber picture: BBC

Apakah mengganggu ikatan hubungan sosial dengan pasangan?
Kemungkinan besar iya karena dunia malam tempat berinteraksi antara lawan jenis, meskipun ada sebagian kecil yang memang ke sana dengan niat lain. Memang tidak bisa disamaratakan antara satu dengan yang lain, karena ini case beda mengingat tipikal orang berbeda-beda. 

Cuman kita logika aja, misalkan saya sebagai lelaki yang sudah mempunyai calon istri, ketika mempunyai habit clubbing seperti dulu, paling tidak calon istri mempunyai kekhawatiran terhadap calon mempelainya karena di dunia malam merupakan dunia yang bebas berinteraksi dengan lawan jenis. Diperkuat kekhawatiran karena konsumsi alkohol bisa menomorduakan pikiran normal.

mau jadi lover apa loser?? (sumber picture: Mindangos)

Apalagi bagi orang yang sudah menikah. Di marahin istri keles, cemburu iya, tempat yang tidak baik iya. Bukannya ini adalah tempat wanita-wanita bisa pulang pagi, dia berbalut baju ketat dan minim, berpoles make up maksimal?

Atas pertimbangan beberapa poin di atas, saya memutuskan untuk berhenti clubbing. Karena sebagai makhluk sosial, saya merasa (akhirnya sedikit sadar) bahwasanya masih banyak tempat lain yang menawarkan aplikasi-aplikasi entertainment maupun segi comfort untuk boosting mood, socialita, hubungan teman serta pasangan masing-masing, tanpa diikuti sederet imbas negatif. Konsep "better than" perlu dijadikan pertimbangan di sini.

Yah begitulah ulasan saya sedikit, memang secara kacamata pribadi berangkat dari beberapa pertimbangan. Pro kontra memang. Culture milenial ini memang sudah eksis sedemikian rupa di sebagian besar masyarakat. Anda boleh setuju, setelah saya menekankan beberapa poin di atas, tapi jika tidak setuju itu pun hal yang wajar.

Bagi para clubber (yang mungkin sempat membaca artikel ini hingga tuntas)...

Setelah ini, siap kah untuk meninggalkan habit ini dan beralih kebiasaan ke yang lebih baik dan bermanfaat?

Mudah-mudahan muncul jawaban siap 86.




FURQON643

0 komentar:

Posting Komentar