Art atau seni saya golongkan sebagai obyek dimana bisa membawa sang subyek-pelaku art masuk ke level artistik notabene sarat dengan creativity dan keindahan murni (pure beauty) ataupun masuk ke level freedom yang cenderung masuk kategori uncontrolled, keluar dari norma etika, bahkan dalam kacamata religi sebagai titik pijak timbulnya sin (dosa).
Tidak jauh, bisa diambil contoh di sekitar saya semasa kuliah. Ada seorang mahasiswi baru, ketika ingin aktualisasi diri, dia memutuskan untuk mengikuti rutinitas theater/drama. Karena dia memang menyukai seni peran. Dan kampus kebetulan ada wadah yang tersedia disana.
Awalnya tidak ada yang mengganggu hatinya. Semua berjalan baik baik saja, secara pergaulan dan wawasan seni peran (berakting sebagai tokoh tertentu, melebur secara peran dan pikiran) hingga suatu hari dia masuk dalam rangkaian naskah yang ada adegan berpelukan, berlanjut cium bibir lawan jenis. Shocked. Saya dengar beberapa dekade berikutnya dia sudah tidak mau bersinggungan dengan dunia peran lagi.
Baik, sekarang kita menilik movie saja di dunia pertelevisian, atau bioskop block-mockbuster, box office dari dalam maupun luar negeri. Apalagi movies dengan filter sign 13+/18+/21+/remaja sebagai minimum age untuk konsumsi movies. Ada adegan ciuman, berpelukan bahkan hubungan badan lawan jenis meski tidak eksplisit diperlihatkan. Entah produksi barat maupun film indonesia yang notabene digarap para creator movie untuk bisa dinikmati remaja (minimal usianya). Gak semua. Beberapa. Dominan barat, dan sebagian movies besutan produser dalam negeri kita.
Gak usah jauh jauh deh. Film cartoon pun, beberapa akhirnya ada yang dihinggapi act penggelitik libido ini. Padahal kartun, esensinya bisa dinikmati anak kecil. Eh ternyata ada adegan begitu juga. Kiss, hug, maupun kissing mouth to mouth. Gak semua. Beberapa saja.
Jadi realita kita sebagai orang yang hidup di timur, masih demikian limited dengan berbagai hal yang di negeri seberang sana sesuatu unusual itu tidak dilihat sebagai perihal yang tabu. Beda topografi, beda negara, berbeda pula budaya, cara pandang, toleransi habit. Sayangnya habit kebaratan tersebut masuk perlahan ke mindset masyarakat kita terutama anak muda dengan halus, membentuk mindset dengan tendensi modern, maju, zaman now, dan aneka cap positive lain.
Apakah ini perasaan saya saja atau memang demikian? Tentang bagaimana kebanyakan orang menganggap sebagian area/coverage art merupakan momentum/membawa atmosfer tersendiri yang cenderung bebas, keluar dari kode etik ketimuran kita?
Coba lihat responsif kebanyakan orang ketika masuk ke atmosfer art. Saya berikan contoh real yang lain.
Rhytm 0
Pernah mendengar artist negeri sono bernama Marina Abramovic? Lone Wolf Magazine menyebut aksi artistik dia di tahun 1979 itu dengan tajuk "The Most Terrifying Work of Art in History".
Action atas nama art ini seperti mengiyakan opini saya diatas. Singkat cerita, si artist melakukan aksi seni (plus social experiment) dengan nama "Rhytm 0". Aksi/eksperimen seperti apa itu? Jadi dia berdiri diam di stage berjam jam (durasi yang dia setting selama 6 jam), dalam hall, mengundang banyak orang yang didominasi stranger/orang asing termasuk wartawan.
Di sisi lain, sang artist terkenal ini menyiapkan hampir 72 barang, beragam jenis yang disiapkan di atas meja di depan stage. Rules nya, setiap orang yang datang di galeri art show dia ini bisa melakukan apa saja ke dia, selama durasi 6 jam yang ditetapkan. Apapun. Dan dia telah mempersiapkan pula MoU alias Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman (perjanjian dan kesepakatan) agar apa saja yang terjadi nantinya adalah tanggung jawab penuh si artist.
Barang apa saja yang disiapkan?
Barang safety seperti bulu, cake cokelat, spidol, pensil, bunga mawar, minyak zaitun, plester luka, hingga barang unsafety seperti pisau, pistol genggam, peluru, rantai, gunting.
Dia mempersiapkan dirinya sebagai objek, bisa diperlakukan apa saja, dan dia siap menerima segala konsekuensi yang timbul. Bahkan kehilangan nyawa. Gila gak?
Penasaran apa yang terjadi selanjutnya ketika orang orang asing masuk ke hall alias area show artistik ini?
Pada awalnya wartawan yang berani mendekat. Memfoto, mendekat, tanpa berani berbuat lebih jauh. Sesaat kemudian, beberapa orang mulai mendekat. Mengubah posisi tangan dan jemari sang artist, menempatkan bunga di tangannya. Ada yang menyuapi dia dengan cake coklat. Lalu, seperti ekspektasi, ada yang mulai mencium dia. Hahahaha.
"It became more wild," kata sang artist saat diwawancara wartawan seusai aksi kesenian berlangsung. Seiring waktu responsif para stranger bertambah liar.
Ada orang asing yang meraba raba badannya. Seseorang mengambil gunting, mulai memotong bajunya sedikit demi sedikit. Orang lain mengambil alat yang sama, menggunting bagian lain bajunya. Akhirnya beberapa orang berhasil membuat dia setengah telanjang gara gara kreatifitas menggunting kain.
Beberapa menulisi kepala dan tubuh bagian atas sang artist dengan kata kata iseng. Ada stranger mengambil pisau. Melukai lehernya, lalu meminum darah yang menetes dari lehernya. Setelah puas, melekatkan plester luka di sobekan kulit di leher sang wanita. Kemudian audience lain mengambil handgun alias pistol, mengisinya dengan peluru, menggenggamkan pistol, mengarahkannya ke kepalanya.
Satu dua orang mendudukkannya dia di atas meja kayu. Menancapkan pisau ke meja berposisi di antara pahanya. Tetap, ada audience yang mencium, meraba tubuhnya sedemikian rupa.
Setelah 6 jam berlalu, sang artist kawakan ini langsung bergerak. Sekretarisnya mendekat, membersihkan segala kerusakan di badannya. Coretan, mengenakan baju yang baru, memberi minum. Audience disana hanya bisa tertunduk, terutama orang orang yang tadi bertindak tak senonoh selama durasi art show.
"What i learned was that, if you leave it up to the audience, they can kill you, i felt really violated,"
Dia belajar banyak hal, bahwa ada kemungkinan dia bisa terbunuh bila dia menggantungkan hidupnya pada audiens yang notabene orang asing. Dia merasa sangat "dijahati" banyak orang. Dan dia benar benar kapok, tidak akan melakukan show art serupa lagi kapanpun dimanapun.
Terbersit conclusi apa?
Kembali ke topik awal, saya bantu Anda menyimpulkan sederhana. Terlepas dari culture negara dan masyarakat Russia, para orang asing ini mampu masuk ke level aggressive "human being" karena aura "freedom" atau kebebasan atas nama "seni", bebas melakukan apa saja, karena memang dipersilakan oleh sang artist, apalagi di sisi lain dia bertanggungjawab penuh atas apa yang terjadi. Tidak ada tuntutan hukum, konsekuensi moral etika.
Awalnya beberapa orang tampak gentle. Hanya mengusili Marina dengan usilan sederhana. Lama kelamaan, orang larut dengan suasana "art", selain karena faktor culture negara terkait tentunya. Apalagi MoU yang sudah dipersiapkan di awal acara. Tambah bebas.
Coba lihat di berbagai media sana. Art seakan menjadi pintu gerbang awal menuju level kehidupan yang bebas, keluar dari norma etika. Terlihat dari banyak foto atau hasil seni fotografi dan seni peran-movie yang enak, bebas dalam menghidangkan foto tak memakai baju, lekuk tubuh, movie yang menunjukkan hal serupa, bahkan lebih, seperti hubungan intim lawan jenis. Saya menemukan banyak kegiatan unexpected ini terutama di film luar sana.
Masih segar lho di pikiran saya, ada dua - tiga artis Indonesia lelaki perempuan pernah meluncurkan hasil fotografi tak memakai baju sehelai pun. Tak sengaja, publik mengkonsumsi hasil seni tersebut, lalu mereka terkena bully. Tendensi alias pembelaan awal yang dilempar ke nitizen adalah "this is art". Itu adalah seni.
Ah, saya cuma ingin berbagi nuansa saya dalam melihat seni dari berbagai kacamata. Saya juga penyuka keindahan. Segala yang indah di alam adalah seni penciptaan Yang Mahakuasa. Hasil buatan manusia pun, yang indah dan penuh kreatifitas, adalah hasil luapan emosi, memeras otak, perasaan sang seniman dalam mengkomunikasikan apa yang ada di pikirannya berharmonisasi dengan segala keindahan.
Tidak semua seni itu buruk. Namun aura seni bisa menjadi aura yang negative bila menjadi senjata/alibi untuk legalisasi pornography, violence, berbagai perilaku negative lain yang dapat menimbulkan influence buruk bak efek domino. Seperti di kejadian show art by artist Russia tadi diatas. Mulai bergeraknya sang artist seusai 6 jam mematung sebagai obyek pelampiasan para orang asing, menjadi start runtuhnya "aura art", melenyapkan jam bebas audience untuk melakukan apa saja, mengembalikan norma etika yang tadi sempat tersingkir di hall, kembali ke "kondisi normal dan seharusnya". Banyak audience malu, menghindari tatapan Marina saat sang artist melihat dan berjalan keliling sebelum mengatakan hasil experiment horornya di stage, di hadapan para wartawan, serta semua orang yang hadir disana.
Semoga beberapa pembaca yang merupakan aktivis seni bisa memahami cara pandang dari kacamata yang saya gunakan. Sebagai orang awam, saya cuma kaget, beberapa kali topik pembicaraan kita mampu membuat banyak orang masuk ke aura lain yang masih keluar dari etika norma seharusnya, aura kebebasan semu. Padahal seni sebagai sarana memang bisa membawa sang subyek melakukan satu diantara dua. Kebaikan, dan sebaliknya. Jangan jangan masih samar pembatasnya di mata kita?
Kalau iya, coba renungkan lagi. Dan mohon maaf sebelumnya ya, semoga bermanfaat.
FURQON643
0 komentar:
Posting Komentar