Halo kawan-kawan semua semoga selalu dalam perlindungan Tuhan, sedang merasa bahagia, tidak kurang suatu apapun, dan tetap semangat dalam aktivitas.
Jaman gini siapa sih yang tak kenal seni tato? Identik dengan menggambar salah satu bagian tubuh atau dominan tubuh, di bagian kulit terluar, beberapa data sejarah, tato ini sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi, karena ditemukannya sebuah mumi di Mesir yang ada tatonya.
Dominan orang mungkin merasa seram ya, memasukkan pigmen berwarna ke dalam kulit, di mana pigmen ini berukuran mikro jadi harus menggunakan jarum, berarti identik dengan rasa sakit kan?
Sumber gambar atmostfear-entertainment.com
Kalau zaman sekarang kita ketahui bersama membuat tato menggunakan jarum. Zaman dahulu lebih seram, pada suku pedalaman tertentu membuat tato ini menggunakan perantara duri pohon jeruk, ada pula yang menggunakan tembaga panas untuk mencetak gambar tertentu, dapat kita temui di Tiongkok.
Sumber gambar zszywka.pl
Tatoo bisa menunjukkan banyak hal. Pada suku pedalaman dahulu, tato dipakai kalangan tertentu untuk penandaan wilayah, derajat, pangkat, hingga kesehatan seseorang.
Sebenernya penggunaan tato yang didominasi oleh manusia ini, dari beberapa ulasan yang sudah saya sebutkan diatas, pasti pembaca pada paragraf ini sama-sama setuju dengan saya, bawa tatoo itu identik dengan rasa sakit saat membuatnya, tapi seringkali terpinggirkan oleh rasa gengsi saat sudah memilikinya, dan tato identik pula dengan manusia yang menggunakannya sejak beberapa ribu tahun lalu.
Sumber gambar kumparan.com
Nah kalau sudah sama-sama paham bahwa identik dengan rasa sakit dan manusia yang kebanyakan menggunakannya, sekarang saya tanya kalau misalkan pembuatan tato itu pemaksaan, alias kita memaksa orang untuk digambarkan tato tertentu di tubuhnya, sesuai dengan nilai kemanusiaan gak? Karena pemaksaan, apalagi jika si subyek tidak suka diperlakukan demikian, pastinya hal ini melanggar hukum dan kode etik kemanusiaan.
Pasti dominan pembaca setuju dengan statement saya.
Jikalau pemaksaan ini dilakukan, atas dasar seni, dan diaplikasikan ke hewan, pasti dominan membaca setuju bahwa hal ini bertentangan dengan kode etik perikehewanan.
Memangnya ada yang demikian?
Ada. Saya ajak teman-teman pembaca sekalian terbang ke United states di tahun 1992. Ada seniman yang memang karya-karyanya saya sukai, tapi pada tahun tersebut dia mempunyai hobi baru, dalam menuangkan aktualisasi diri untuk aplikasi seni.
Pada tahun tersebut masih tidak seberapa aneh sih. Sang seniman yang suka melakukan berbagai jenis hubungan dengan bodi manusia, mulai nongkrong di dekat rumah jagal untuk membeli kulit babi, yang mana babi babi di sana abis dipotong untuk dimanfaatkan baik dagingnya dan lain-lain.
Sumber gambar publicdelivery.org
Berangkat dari kesukaannya di tahun 1992 menggambar tato di kulit babi korban jagal, pada tahun 1997 sang seniman terkait mulai tertarik untuk menggambar tato pada kulit babi yang masih hidup, atas pertimbangan nilai seni dan harga jual alias price.
"The pig would literally grow in value"
Kata sang seniman dalam karya tulis Paul Laster, "Bringing Home the Bacon: Wim Delvoye", ArtAsiaPacific. Karena berhubungan dengan makhluk hidup, dan sesuai kesepakatan kita, tato itu menimbulkan rasa sakit, serta ini sebetulnya pemaksaan pada hewan, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di bidang hukum, dia hengkang ke Cina pada beberapa tahun berikutnya.
Sumber gambar publicdelivery.org
Sumber gambar ifitshipitshere.com
Mengapa Cina? Karena di China belum ada peraturan pemerintah yang spesifik tentang tidak bolehnya menyakiti hewan tertentu misalkan babi. Jadi agak bebas ya pastinya? Memang, buktinya dia meresmikan Art Farm di negara terkait, alias peternakan seni, di mana banyak babi yang mulai ditato. Omg.
Simple sih. Mengikuti pangsa pasar, sang seniman terkait menggambar alias mentatto babi dengan gambar-gambar Disney, hingga merek merek terkenal seperti Louis Vuitton. Harapannya memang aktualisasi diri untuk melakukan hobi seni, sekaligus financial alias buat dijual.
Namanya si seniman ini Wim Delvoye. dia artis kelahiran Belgia. Sebenernya hasil seni dia di bidang lain bener-bener bagus, tapi seperti lagu entah apa yang merasuki nya, babi-babi masih hidup seakan menjadi ladang pemaksaan kehendak, lahan pesakitan, hanya untuk pelampiasan seni dan nantinya dijual.
Sumber gambar Dailymail.co.uk
Tapi case seperti yang saya duga. Para aktivis perikehewanan banyak yang melayangkan protes ke seniman ini. Berbagai elemen bersepakat bahwa, kegiatan seni yang Wim Delvoye lakukan tidak sesuai kode etik yang benar kepada hewan. Karena pemaksaan dan penimbulan rasa sakit pada hewan (penyiksaan).
Hmm. Kalau secara kacamata agama, memang tattoo tidak dibenarkan, terutama dalam Islam. Apalagi melakukannya ke hewan sebagai bentuk penyiksaan. Hal ini lebih tidak dibenarkan lagi dalam kacamata religi.
Gimanapun kita bisa ambil pelajaran dari sini. Kita sebagai manusia hidup berdampingan dengan alam. Tidak sepatutnya kita menyakiti salah satu pihak hanya untuk ego kita sendiri. Tentu sebentuk ego yang tidak dibenarkan secara kode etik sosial.
Karena tidak hanya perlakuan kepada sesama manusia saja yang membutuhkan tata cara dan sandaran perilaku berupa aturan kode etik sosial, tapi kepada hewan juga. Jangan salah, tumbuhan juga termasuk. Misalkan hanya karena ego kita ingin membangun pabrik, kalau kita membabat habis puluhan hektar hutan hanya untuk ego kita, atau cara lain untuk mengakali peraturan, dengan seolah-olah ada kebakaran hutan, di mana kebakarannya kitab klaim dengan sebab-sebab alami.
Karma guys. Beware.
Semoga wacana simple di atas bermanfaat. Apalagi kalau para pembaca bisa mengambil hikmah hikmah tertentu yang tersirat. Selamat beraktifitas dan semoga lancar dalam segala urusan atas izin Tuhan.
Furqon643
Sumber
1. Di sini.
2. Di sini.
3. Di sini.
Minggu, 26 Januari 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar