Awalnya begini, ada sahabat dekat yang sedang diberi cobaan Tuhan, rumah tangga yang bermasalah, menjurus kepada perceraian. Tidak banyak teman yang tahu, bahkan keluarga dekat dia, yang ada dia keep silent, tidak menceritakan ke siapa-siapa kecuali saya. Tergambar gimana pusingnya pikiran dia, kan?
Kita tidak sedang berbicara pusing yang muncul dan mengobrak-abrik pikiran selama 1 atau 2 jam, satu atau dua hari, tapi kondisi yang terpaksa memeras tenaga dan pikiran dia selama beberapa bulan. Saya takut jika dibiarkan, bisa masuk level depresi yang lebih dalam lagi mengingat selama berinteraksi dengan dia ada beberapa case khusus dalam keseharian yang bisa dibilang indikasi orang yang mengalami depresi (kesedihan berkepanjangan awal dari depresi).
Misalkan seperti, cara komunikasi terhadap kawan sejawat maupun kepada orang asing yang belum dikenal, intensitas makan drop, konsentrasi seakan tidak fokus seperti biasanya, tingkat emosional saat pengambilan keputusan, sampai gaya berkendara. Semua poin tersebut sempat menunjukkan reduce yang tidak menggembirakan. Selama beberapa bulan, bayangkan!
Coba kenali dikit depresi.
Berangkat dari perasaan tidak tega, kasihan, dan sederet sifat kesetiakawanan lainnya, saya coba mengarahkan "aktualisasi diri"/naluri yang mengarahkan dia untuk menghibur diri dengan sesuatu perilaku tertentu dalam momentum drop ini.
Daripada meningkatkan intensitas kegiatan yang tidak perlu, namun cost lumayan besar, seperti dunia malam, atau sekedar pergi berkaraoke (berkali-kali), berangkat dari pertimbangan weight tubuhnya yang menurun (wasting time and money but not worth), saya arahkan secara halus dengan awalan penawaran, "cobalah wisata kuliner".
Bayangkan jika misalkan dia tetap rutin di dunia malam? Sekali open board, membutuhkan dana paling tidak beberapa juta. Kalau misalkan datang rame-rame mungkin patungan per orang masih bisa kena beberapa ratus ribu atau setengah juta. Belum lagi ke sana tiap weekend atau seminggu dua sampai tiga kali kala pusingnya kembali menyeruak di kepala.
Sumber pict: unsplash
Sama seperti kebiasaan ke karaoke ketika ingin menghilangkan penat. Sekali ke sana bisa habis beberapa ratus ribu, bahkan mungkin mendekati sejuta. Patungan beberapa orang masih terkena beberapa ratus ribu, tapi jika tiap kesedihan/terpikir permasalahan hidup lalu dilampiaskan ke sana, berapa juta yang hilang perbulan?
Itu di sisi akumulasi dana/cost. Belum lagi efek negatif di sisi lain seperti kurang tidur, kecapean, atau efek kesehatan dari konsumsi alkohol. Kalau saya boleh menambahkan, secara kacamata religi pun, mengkonsumsi alkohol itu haram.
Kembali ke topik pembicaraan, akhirnya dia setuju untuk mencoba saran saya. Kala pusing, terfikir beban yang sedang dia hadapi, dilampiaskan dengan mencoba menu kuliner di beberapa tempat berbeda. Food store sana sini dia coba. Syukurlah. Hitung-hitung selain boosting tingkat gizi di badannya, saya harap badannya yang kemarin-kemarin sempat mengurus bisa agak berkembang lagi sedikit.
----------
Guys secara kacamata keilmuan, ada respon berbeda setiap orang ketika mengalami depresi. Ada salah satu tipikal orang, ketika mengalami depresi, orang bisa cenderung overeating (over dalam mengkonsumsi makanan), kemudian seberangnya, ada yang cenderung undereating (kehilangan nafsu makan, pada level tertentu cenderung parah, bisa enggan makan sama sekali).
Overeating
Secara kacamata medis, ada beberapa istilah yang kurang lebih sama yang menggambarkan overeating, seperti bulimia nervosa, atau binge eating disorder. Kali ini sih saya tidak membahas satu persatu penjabaran beberapa istilah tersebut, cuman secara garis besar, overeating intinya memakan porsi yang lebih dari biasanya (dalam kasus ini hal itu menjadi kebiasaan).
Kenapa bisa overeating ya?
Secara simple ada kesedihan atau level depresi orang yang menyebabkan dia ingin mengurangi keruwetan dalam pikiran tersebut dengan memakan sesuatu. Utamanya makanan yang dia suka, di mana cenderung sweet (makanan manis), maupun jajanan sederhana yang berkalori tinggi (masuk ke makanan kategori meal).
Sumber pict: justrunlah
Anxiety and Depression Association of America mengatakan, kasus overeating ini dominan dialami oleh wanita, dan sedikit percentage dialami oleh laki-laki. Entah mengapa seperti ada benang merah, antara wanita dan makanan, sebaliknya, antara laki-laki dan rokok-alkohol.
Tapi tidak serta-merta kebiasaan overeating ini dipacu oleh kesedihan atau depresi. Karena beberapa kasus, ada subjek tertentu yang memang mengalami hal ini hanya karena kebiasaan (disturbance habit). Tapi ada juga yang memang melakukan perilaku overeating ini karena emosional yang fluktuatif.
Seperti riset yang dilakukan oleh Department of Psychology, Michigan State University. Pasca penelitian ditemukan bahwa untuk perilaku overeating ini ada pengaruh faktor biologis, atau genetik. Semisal pada masa puber. Dan jenis kelamin dominasi wanita.
Sumber pict: psychology today
Kita ambil logika saja, biasanya saat masa remaja atau puber (seperti masa di mana yang sudah pernah saya lalui atau beberapa pembaca sedang mengalaminya sekarang) berasa masalah yang kecil seakan-akan besar banget seperti gajah, atau sebaliknya masalah yang besar bak melihat semut. Dan orang-orang yang mengalami overeating ini barangkali melihat bahwa aspek mengkonsumsi makanan ada efek "entertain" & healing sadness. Sayangnya jadi kebiasaan..
"Not everyone who has a bad day is going to turn to food to cope with that negative emotion", kata salah satu author, Racine SE, seorang pakar psikologi dari barat, menyimpulkan konklusi sederhana senada dengan beberapa pakar lain mengiyakan konsep bahwa tidak semua orang yang mengalami depresi menjatuhkan fokus healing ke makanan. Meski semua hampir setuju, berdasarkan beberapa penelitian memang ada benang merah antara kebiasaan overeating, genetik, dan tingkat depresi.
Undereating
Permasalahan inti alias substansi dari aspek tidak mengkonsumsi makanan secara rutin adalah underweight, yaitu tingkatan berat badan yang tidak sesuai normal. Dunia medis biasa mengukur perbandingan height weight menggunakan parameter BMI (Body Mass Index). Karena level terparah di sini bisa mencapai level anoreksia (kurus parah bin banget).
Di sisi lain, penelitian medis mengungkap bahwa kurang asupan makanan bisa menjadi penyebab beberapa penyakit, karena imun tubuh tidak maksimal.
Kok bisa undereating ya?
Banyak penelitian yang sudah menjelaskan tentang fenomena ini. Salah satunya yang dijelaskan oleh peneliti di bidang psikologi Universitas London, Aaron Kandola.
- Diet yang nggak bener.
Istilahnya si subyek terpacu untuk melakukan diet tapi sayangnya tidak dibarengi dengan ilmu yang baik tentang diet. Alih-alih melakukan diet yang benar, ternyata mindset terkirim tidak sengaja untuk "alergi makanan", bisa pula malah menjauhi makanan tertentu yang ternyata makanan tersebut mempunyai nilai gizi yang cukup baik (dan dibutuhkan tubuh).
- Mengikuti arus hidup sehat.
Sama seperti di atas, diawali dengan semangat, selama berprogres tidak dibagi dengan pengetahuan yang benar tentang diet, gizi, dan wacana wacana kesehatan.
- Over activity
Aktivitas yang sangat banyak, harusnya diimbangi dengan asupan gizi yang sama banyak. Jika ada peningkatan level kehidupan atau aktivitas keseharian, seyogyanya makanan pun berimbang. Jika terbiasa makan sedikit, kemudian suatu hari aktivitas keseharian benar-benar over, kasihan bila porsi makannya tetap tidak berubah.
- Faktor finansial
Kesadaran akan asupan gizi bagi sebagian orang ada, cuman berbeda cerita bila tidak diimbangi dengan kemampuan finansial yang memadai. Banyak contoh lah, seperti kelaparan di negara-negara seberang, masyarakat pengungsi perang, dan banyak lainnya.
- Stress, depresi
Serentetan penelitian memang membuktikan sendiri, untuk beberapa tipikal subjek tertentu, banyak pikiran berupa stres, depresi, secara naluri manusia mampu menggeser mood keinginan untuk makan.
-----------------------------
Jika kita mempunyai kawan atau keluarga yang mungkin sedang mengalami kondisi seperti sahabat saya di atas, supaya kita sebagai teman atau keluarga yang baik, support wajib kita lakukan.
Memang, setiap orang berbeda, kalau sahabat kita di atas memang dia termasuk dalam kacamata saya membutuhkan treatment kuliner. Dan memang cocok, utamanya karena ketika dia depresi, dia kehilangan nafsu makan, atau undereating.
Sedangkan point kedua, kuliner saya wacanakan sebagai opsi yang mampu menggeser kebiasaan buruk lain yang dianggap sebagai "answer" atas depresinya atau sebagai sumber mata air (sementara) di gurun, yang ternyata bukan jawaban sama sekali, yang ada makin pusing.
Paling tidak kita sudah berusaha. Sama seperti saya, semoga wacana di atas bermanfaat. Jauh dari kata sempurna, tapi tetap, pasti ada satu atau dua poin yang bisa dijadikan pengetahuan baru (mungkin) bagi kawan-kawan pembaca.
FURQON643
Minggu, 26 Januari 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar